Ketika aku menulis surat ini, aku mungkin belum resmi menjadi istri dari ayahmu nak. Kami masih berpacaran. Tahun ini adalah tahun ketiga kami berpacaran. Tahukah kamu nak, bunda sangat mencintai ayahmu sejak lama, sejak pertama kali kami dipertemukan di SMA yang sama. Kala itu ayahmu terlalu terkenal dan banyak mendapatkan sanjungan dari perempuan-peremupan cantik di SMA kami. Teman dekat bunda pun mungkin hingga hari ini surat ini dituliskan masih memendam perasaan kepada ayahmu. Dulu, bundamu hanya seperti pucuk daun yg tumbang dari pohon dan siap dihempaskan angin, tidak ada yang peduli. Ayahmu, bak bintang bersinar, selalu memancarkan cahaya berpendarnya. Kami terlalu lama tidak mengakui, bahwa kami saling mencintai. Cinta kami bersemi di tahun kedua kuliah kami. Cukup lama cinta kami kepending. Sebelum bersama ayahmu, bunda terlebih dahulu menjalin cerita dengan laki-laki lain yang tidak cukup pas untuk bunda pilih. Bunda kembali ke pelukan ayahmu, tempat bunda kini berbagi kesenangan dan kesedihan dalam hidup. Ayahmu sumber kekuatan terbesar untuk bunda. Karena itu, sayangi ayahmu ya nak ketika ada dan tidaknya bunda dalam hidup kalian. Kalian terlahir atas cinta kami yang teramat dalam, cinta yg penuh dengan bahagia dan tangisan karena terlalu sulit untuk dilewati. Tapi nak, bunda bangga karena sudah berhasil melahirkan kalian dari bibit ayahmu, orang yang sangat bunda cintai seutuhnya.
"Harapan akan selalu ada di dalam hidup seseorang, begitu pula aku. Sekecil apapun harapan itu, jika sungguh-sungguh akan menuai hasil yang besar."